Amit-amit cabang bayi

Mungkin cabang Purwakarta

Kanya Chairunissa
4 min readFeb 13, 2018

ja.bang ba.yi

n. anak (bayi) yang baru lahir; orok

Pernah dengar ungkapan amit-amit jabang bayi? Sewaktu kecil, hingga SMP, saya hampir selalu mendengar — dan berakhir menyalahartikan — kata jabang menjadi cabang pada kalimat amit-amit jabang bayi. Awalnya saya bingung, apakah maksudnya kita berdoa agar bayi kita tidak bercabang? Ternyata saya salah dengar, atau kayanya… emang budek aja.

Ungkapan tersebut adalah bagian dari tradisi Jawa yang dikhususkan untuk ibu hamil. Amit-amit sebenarnya merupakan ungkapan permisi kepada jabang bayi, dan dilontarkan ketika ada suatu hal yang tidak diinginkan terjadi.

Contohnya, ketika bertemu seseorang yang tingkat kecerdasannya kurang atau parasnya tidak indah menurut pendapat pribadi. Sang ibu hamil akan mengucapkan “mantra” tersebut sebagai salah satu upaya untuk menghapus ingatan tentang orang-orang tersebut dan menghindari sugesti. Kasarnya kurang lebih seperti ini, “permisi bayi, ini ada memori negatif mau lewat. Kamu jangan jadi seperti dia ya.”

Ungkapan tersebut pada akhirnya mengekspresikan sesuatu yang bersifat merendahkan, dengan atau tanpa kesengajaan. Pertanyaan utamanya adalah, apakah tindakan itu benar, ketika akhirnya tercipta sebuah tingkatan akibat kebiasaan manusia meninggikan dan merendahkan sesuatu?

Seorang teman pernah berkata, “orang cantik mah bebas, orang ganteng juga. Mau kentut kek, ngupil kek, dibiarin aja. Malah dibilang lucu. Kalo kesusahan dikit, pasti pada rebutan buat nolong. Lah aing (aku)? Dandan cantik ditanyain mau ngelenong di mana. Bawa karung isi beras lima kilo buat himpunan kalo ga teriak ‘tolongin napa!’ boro-boro ada yang inisiatif. Kan kesel.”

Mengapa harus melawan fenomena alami untuk memenuhi standar kecantikan agar dapat dianggap? Sumber: indulgy.com

Sebuah omelan sederhana yang membuat saya bertanya-tanya. Mengapa orang-orang cenderung memaklumi orang lain yang dianggapnya indah?

Ternyata, hal ini terjadi karena secara alamiah orang senang akan keindahan, sesuatu yang memanjakan indra[1]. Ini mengakibatkan segala jenis keindahan akan lebih terapresiasi dengan berbagai bentuk. Beberapa bentuk apresiasinya adalah: kecenderungan untuk melakukan sesuatu untuk “si cantik” dengan ikhlas atau memaklumi hal-hal yang “si ganteng” lakukan.

Kebergunaan-keberartian

Menurut Goenawan Mohamad dalam pidato Fragmen:Peristiwa (2004), keberartian merupakan tuntutan makna yang didesak oleh modernitas. Desakan inilah yang menilai segala hal secara instrumental, yaitu jika sesuatu harus berarti maka ia harus berguna[2].

Contohnya, orang yang ranking 1 di sekolahnya cenderung akan lebih diuntungkan ketika memilih bimbingan belajar. Bimbel akan berlomba-lomba mencari siswa pintar untuk mengikuti sistem pembelajarannya karena orang-orang tersebut berpotensi masuk perguruan tinggi sesuai minat. Akibatnya, indeks keberhasilan bimbel tersebut ikut meningkat. Ini hanya merupakan salah satu indikator bahwa manusia dihargai berdasarkan kebergunaannya terhadap orang lain.

Semakin besar dampak yang diberikan atas kebermanfaatannya, semakin tinggi pula nilai orang tersebut di mata khalayak. Contoh, semakin memuaskan penampilan fisik seseorang di mata orang banyak (aktor/aktris), semakin banyak penggemar, semakin tinggi harga yang ditawarkan industri hiburan untuknya.

Padahal, setiap manusia memiliki perannya masing-masing. Ada yang dapat memimpin, ada pula yang dapat dipimpin. Semua memiliki relung masing-masing untuk diisi, seberapa besar atau kecil dampaknya bagi orang lain. Kehidupan tidak dapat diukur hanya dari keberartian — makna tersebut terlalu sempit untuk menjadi patokan. Ketika sesuatu dipaksa untuk ‘berarti’, makna yang hadir menjadi sempit dan terjepit[2].

Biosentrisme

Hal ini berlaku tidak hanya untuk manusia. Semua makhluk hidup memiliki nilai intrinsik , nilai yang diperoleh bukan atas dasar penilaian eksternal. Oleh karena itu, seperti ungkapan Albert Schweitzer,

“saya menjalani kehidupan yang menginginkan tetap hidup, di tengah kehidupan yang juga ingin tetap hidup”[3]

kehidupan merupakan hal sakral yang harus dihormati. Semua makhluk yang sedang hidup sama-sama ingin tetap hidup, apapun bentuk hidupnya secara biologis. Pernyataan inilah yang mendukung paham Biosentrisme, yang kemudian dinyatakan Paul Taylor dalam 4 hal, yaitu:

  1. Keyakinan bahwa manusia sebagai anggota komunitas kehidupan yang sama dengan organisme lain di bumi
  2. Keyakinan bahwa manusia, bersama dengan spesies lain, merupakan bagian dari sistem yang hidupnya saling bergantung sama lain
  3. Setiap organisme merupakan pusat kehidupan yang memiliki tujuan hidupnya sendiri, yang akhirnya mengisi relung dalam sebuah sistem kehidupan
  4. Keyakinan bahwa kehidupan manusia pada hakikatnya tidak lebih unggul dari makhluk hidup lain [4]

Paham ini membentuk moral yang memicu manusia untuk dapat adil dalam berpikir. Mengutip Pramoedya Ananta Toer, yang dilontarkan oleh tokoh fiktif bernama Jean Marais dalam Bumi Manusia, bahwa adil sudah harus tercipta sejak di dalam pikiran[5]. Apakah adil rasanya jika “berguna bagi orang lain” harus menjadi tolak ukur makhluk hidup untuk dapat dianggap?

Kebergunaan memang lumrah untuk menjadi sebuah kelebihan, namun diskriminasi untuk makhluk hidup yang “tidak berguna” tetap tidak dapat dibenarkan. Mari sama-sama belajar untuk menghargai nilai intrinsik masing-masing, dan mengurangi ungkapan yang merendahkan, seperti “amit-amit jabang bayi”. Karena sesungguhnya, mereka tidak bersalah atas apa yang terjadi pada jabang bayimu, itu konsekuensi dari apa yang ada di dalam otakmu.

Curahan hati makhluk hidup yang tidak (se)indah (itu),

Kanya Chairunissa

Daftar Pustaka

[1] Mo C, Xia T, Qin K, dan Mo L. 2016. “Natural Tendency towards Beauty in Humans: Evidence from Binocular Rivalry”. PLoS ONE 11(3): e0150147. doi:10.1371/journal.pone.0150147

[2] Mohamad, G. 2017. “Fragmen:Peristiwa”, Pidato untuk Bakrie Awards (2004) dalam Pada Masa Intoleransi. Yogyakarta: IRCiSoD.

[3] Schweitzer, A. 1964. The Ethicts of Reverence for Life, dalam The Philosophy of Civilization.

[4] Taylor, PW. 1986. Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethicts. Princeton: Princeton Univ. Press

[5] Toer, PA. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra

--

--