Tentang kematian

Bagaimana ekologi mengajarkan bahwa “mati” tidak benar-benar nyata

Kanya Chairunissa
2 min readDec 26, 2017

Ada salah satu cerita yang dulu membuatku takut akan kematian. Salah satunya adalah, karena nanti badanmu akan dipenuhi cacing dan belatung — hancur dan remuk — akibat dosa-dosa yang kamu perbuat. Mungkin seperti azab dari dosa-dosa tersebut, katanya. Gara-gara itu, cacing dan sebangsanya menjelma menjadi makhluk jahat karena telah menghancurkan jasad-jasad yang dikuburkan.

Namun kawan, sadarkah bahwa proses menghancurkan itu adalah proses alami yang dilakukan oleh ekosistem? Jasad itu adalah kumpulan materi organik, nutrisi yang dibutuhkan tanah untuk menghidupi makhluk-makhluk yang tumbuh di atasnya.

Ketika ada sekumpulan materi berbentuk jasad yang jatuh di tanah, segerombol organisme bernama detritivor akan datang menikmati jasad tersebut, mencacah hingga tercipta luas permukaan yang kecil dalam jumlah banyak. Detritivor biasanya berupa organisme kecil yang masih kasat mata, seperti serangga, cacing, moluska, semut, rayap, dan invertebrata lain yang sejenis.

Proses pencacahan yang dilakukan detritivor memudahkan organisme lain — yang selanjutnya disebut dekomposer — mengubah komposisi materi organik menjadi anorganik untuk kemudian menjadi cadangan nutrisi yang nantinya disimpan di dalam tanah. Dekomposer biasanya berbentuk lebih kecil dari detritivor, serta cenderung tak kasat mata, seperti bakteri, jamur, dan mikroorganisme lainnya.

Nutrisi yang diuraikan oleh dekomposer pada akhirnya akan diserap oleh akar-akar yang tertancap di dalam tanah. Akar-akar itu dimiliki oleh produsen, organisme autotrof yang amat sangat berjasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai satu-satunya pengkonversi alami CO2 menjadi O2, merekalah satu-satunya makhluk hidup yang diandalkan untuk menghembuskan kehidupan di dunia. Selain itu, para produsen ini mengubah karbon anorganik menjadi karbon organik melalui proses fotosintesis yang akhirnya dapat dinikmati tingkatan trofik di atasnya. Proses tersebut pun merupakan salah satu upaya bumi mengurangi gas rumah kaca (berupa CO2) penyebab pemanasan global yang kian hari kian meningkat.

Setelah itu, kita tahu apa yang terjadi. Rantai makanan akan tercipta. Rumput dimakan sapi, sapi dimakan manusia. Pucuk kaliandra dimakan rusa, rusa dimakan macan kumbang. Pepohonan rindang membentuk hutan, menjadi habitat bagi organisme melakukan proses herbivori dan predasi. Tingkatan trofik dari produsen hingga predator dipenuhi kebutuhannya, karena ada siklus nutrisi yang terjadi. Oleh sebuah kematian.

Ada serpihan kita di dalam semesta

Semua yang ada di alam ini terkoneksi, oleh interaksi kompleks antarkomponen yang terjadi di ekosistem. Proses dekomposisi memberikan sebuah ketenangan untukku menghadapi kematian. Bahwa akhirnya, semua makhluk hidup tidak benar-benar mati. Materi yang menyusun tubuh kita akan terurai, tercerai-berai, untuk kemudian menyusun makhluk hidup baru yang akan melanjutkan kehidupan di alam yang sama. Tenang saja, kawan. Matipun kau akan tetap bermanfaat. Asalkan kau dikubur, atau dibuang ke lautan dengan tepat.

Kita semua akan hidup kembali, berupa serpihan yang berada di dalam organisme lain, untuk menghidupi rekan-rekan yang akan memulai kehidupannya. Hidup bersama jantung-jantung baru, mitokondria dan inti sel baru yang siklusnya akan terus berulang,

hingga,

semesta tidak lagi sanggup untuk mewadahinya.

As you develop your awareness in nature, you begin to see how we influence all life and how all life influence us. A key and critical feature for us to know.

— Wanbli Nata’u, Oglala Lakota

--

--